Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan sebagian kita untuk menafsiri ayat-ayat tersebut secara parsial, alias sebagian-sebagian. Demikian banyak misteri yang disamarkan oleh Allah di seputar penciptaan manusia. Mulai dari dimanakah manusia pertama itu diciptakan, kapan dia diciptakan, dari bahan apa badannya terbentuk, sekali jadi ataukah lewat proses yang panjang, kenapa ia turun dari surga, dan lain cebagainya. Misteri-misteri seputar penciptaan manusia pertama dalam informasi Al Qur’an itu akan kita bahas dalam bab ini. Di bagian pertama ini, kita coba untuk membuka dan merekonstruksi ayat-ayat seputar tempat dimana ia diciptakan.
Benarkah dia diciptakan di surga? Surga yang mana? Di Bumi ataukah di langit. Selama ini, cerita-cerita yang berkembang mengarahkan kita kepada suatu pengertian bahwa Adam dan Hawa diciptakan di surga. Surga itu digambarkan terletak di suatu alam ghaib, di langit sana. Di sebuah ‘negeri atas awan’ yang tidak ada lagi penjelasannya. Sebenarnya, pendapat ini terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit. Seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ dalam cerita-cerita pewayangan yang diadaptasi dari agama di luar Islam.Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit. Dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi. Sebenarnya, konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep agama-agama pagan yang justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa oleh keluarga nabi Ibrahim - termasuk keturunan terakhirnya rasulullah Muhammad saw. Agama pagan adalah agama yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam.
Di antaranya adalah agama penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya. Tanpa disadari, doktrin-doktrin agama kuno ini meresap dalam pemahaman umat Islam dalam banyak konsep keimanannya. Termasuk keimanan kepada Allah. Banyak di antara kita, yang menganggap Allah adalah Tuhan yang bertempat di dalam Surga. Atau di alam akhirat. Atau di langit yang ke tujuh, di Sidratul Muntaha. Atau berada di alam tinggi, di atas awan sana. Sebuah negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan pernah anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun. Karena itu, banyak di antara umat Islam yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita harus mengarungi jarak ke langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika rasulullah saw Mi'raj. Beliau datang ke Sidratul Muntaha itu dipersepsi untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka, Allah itu tidak berada di Bumi. Allah itu di langit. lauh dari kita. Sungguh ini bukan konsep Al Qur’an. Ini bukan konsep Islam. Ini adalah konsep agama-agama pagan. Karena di dalam Islam dan Al Qur’an, Allah digambarkan sebagai Dzat Maha Besar yang tidak menempati ruang. Justru Dia meliputi ruang. Sebesar apa pun ruang itu. Termasuk ruang alam semesta yang tidak diketahui tepinya hingga kini.
Termasuk ketika rasulullah saw melakukan Mi'raj, beliau bukan bertujuan untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha. Karena Allah memang bukan ‘tinggal’ di Sidratul Muntaha. Allah adalah Dzat yang digambarkan Al Qur’an ‘sangat dekat’ dengan kita. Bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Di dalam berbagai ayat, justru Allah digambarkan memenuhi seluruh ruang. Bahkan ruang itu sendiri tidak muat untuk mewadahi DzatNya yang Maha Besar. Justru ruang itu yang berada di dalamNya. Maka, di dalam Islam digambarkan bahwa Allah berada dalam Ketunggalan-Nya. Dan, kata Al Qur’an kemana pun kita menghadap kita akan berhadapan dengan Dzat Allah itu. QS. Qaaf (50): 16Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepada-nya dari pada urat lehernya. QS. Al Baqarah (2): 115Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah kamu berhadapan dengan wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Salah satu kepahaman agama pagan yang sangat melekat pada kepahaman umat Islam adalah tentang keberadaan surga. Kebanyakan kita mempersepsi surga sebagai suatu istana yang indah yang berada di atas langit. Jauh dari Bumi. Sebagaimana konsep dewa-dewi dalam agama pagan itu. Sampai-sampai ada juga yang berpendapat bahwa Allah itu berada di surga. Yang ini adalah konsep agama Nasrani - berpendapat Tuhannya berada di Surga. Islam sebenarnya tidak pernah mengajarkan pemahaman seperti ini. Akan tetapi, banyak di antara kita yang berpendapat bahwa untuk bisa bertemu Allah kita harus berada di surga. Selama masih di Bumi, pertemuan itu tidak akan pernah bisa terjadi.Al Qur’an justru mengatakan kepada kita bahwa untuk bertemu Allah kita tidak perlu harus ke surga dulu. Semenjak hidup di dunia ini kita sudah bisa bertemu Allah di mana-mana. Kemana pun kita menghadap kita akan bertemu dengan Allah.
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bisa bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh rasulullah saw kepada kita. Kepahaman tentang hal ini perlu saya tegaskan kembali, karena kita akan membicarakan surga. Banyak umat Islam yang mempersepsi surga sebagaimana orang-orang yang beragama pagan itu. Bahwa surga adalah istana indah di alam dongeng, nun jauh di langit sana. Padahal, oleh Al Qur’an, surga dipersepsi dengan sangat realistik. Sangat dekat, sekaligus luas meliputi alam semesta. Sangat fisikal dengan gambaran keindahan khas Bumi, sekaligus keindahan batiniah yang menyentuh alam jiwa kita yang paling dalam. Sarat dengan berbagai kenikmatan duniawi, sekaligus kenikmatan yang bersifat ukhrawi.
Kesalahan dalam memahami surga ini, pada gilirannya menyebabkan kita salah juga dalam mamahami surga dimana Adam dan Hawa pernah ditempatkan. Terjadi distorsi pemahaman yang sangat jauh, dari konsep surga di dalam ayat-ayat Al Qur’an. Apalagi, kata ‘surga’ di dalam bahasa Indonesia memang memiliki konotasi yang berbeda dengan kata ‘annah’ dalam bahasa Arab. kata surga diadaptasi dari pemahaman Hindu - swargaloka - yang menunjuk kepada negeri para dewa-dewi di langit sana. Sedangkan kata ‘Jannah’ menunjuk kepada taman indah. Anda lihat konsepnya sudah sangat berbeda. Swargaloka mengarah kepada pemahaman yang bersifat fantastis & jauh, sedangkan kata jannah lebih bersifat realistis & dekat. Entah kenapa ‘jannah’ di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai surga yang justru diambil dari pengertian agama pagan. Di dalam Al Qur’an yang berbahasa Inggris, terjemahannya justru lebih dekat yaitu: garden alias taman yang indah. Ambil contoh misalnya, ayat di bawah ini. QS. Ali Imran (3): 133Be quick in the race for forgiveness from your Lord, and for a Garden whose width is that (of the whole) of the heavens and of the earth, prepared for the righteous. [Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa] Pemakaian kata ‘jannah’ alias ‘taman yang indah’ ini memang terkait erat dengan wilayah turunnya agama Islam di kawasan padang pasir. Sebuah kawasan yang sangat kering dan keras. Jauh dari rasa indah.
Maka Allah memperkenalkan konsep reward alias ‘hadiah kebaikan’ dengan simbol ‘taman yang indah’. Dimana kita bisa merasakan kesejukan, kesegaran, sumber mata air, makanan dan buah-buahan yang sangat berlimpah, dan berbagai macam kenikmatan fisikal lainnya. Sekaligus gambaran kenikmatan yang bersifat kejiwaan. QS. Ar Ra'd (13): 35Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.
QS. Muhammad (47): 15(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya? Jadi, penggunaan kata ‘taman yang indah’ sebagai bentuk balasan kebaikan itu sesungguhnya bersifat perumpamaan. Bukan makna sesungguhnya. Ia lebih menggambarkan perasaan bahagia seorang manusia yang biasanya berada dalam lingkungan padang pasir yang kemudian bertemu dengan taman dan mata air.
Sungguh suatu karunia yang luar biasa nikmatnya. Akan tetapi, bagi orang Indonesia yang sangat sering bertemu dengan taman indah dan sumber mata air, hal itu tidak memberikan rasa bahagia yang luar biasa. Datar-datar saja. Sebagaimana pernah disampaikan oleh seorang kawan dari Arab ketika berkunjung ke Indonesia. Ia mengatakan bahwa Indonesia ini adalah sepenggal surga yang diciptakan Allah di muka Bumi. Tapi itu bagi kita terasa biasa-biasa saja.
Tak ada yang istimewa. Jadi, kata surga alias jannah memilki makna yang jauh lebih mendalam dari sekadar pengertian fisik seperti itu. Istilah itu lebih menunjuk kepada suasana batin kita saat memperoleh sesuatu yang membahagiakan. Meskipun, tentu saja itu sangat terkait erat dengan hal-hal yang bersifat material seperti makanan, minuman, pakaian, rumah, persahabatan kekeluargaan, lingkungan yang indah, dan sebagainya. Maka, di sinilah kunci pemahaman kita tentang kata jannah. Ia memiliki dua arti sekaligus yang terkait secara langsung. Bahwa jannah bisa bermakna harfiah taman yang indah secara sesungguhnya, tetapi yang jauh lebih penting adalah rasa bahagia yang dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di dalam taman itu. Mereka, di dalam Al Qur’an, digambarkan sebagai orang-orang yang tidak punya rasa khawatir dan gelisah, tidak punya rasa takut, rasa benci, rasa dendam, rasa marah, dan berbagai perasaan yang menyebabkan penderitaan.
Yang ada ialah rasa tentram, rasa kasih sayang, saling menghargai dan mencintai dengan sesama penduduk surga, rasa syukur yang mendalam, dan berbagai rasa yang mengantarkan kita pada suasana bahagia. Kombinasi antara perasaan dan suasana lingkungan yang seperti itulah yang akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan surgawi. QS. Al Hijr (15): 45 - 49Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman". Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya. Kabarkanlah kepada harnba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Itulah gambaran surga dalam Al Qur’an. Lantas, bagaimana kita mempersepsi surga pada jaman nabi Adam? Apa bedanya dengan surga di akhirat kelak? Kata jannah digunakan untuk dua hal yang hampir sama pada dua kondisi yang berbeda. Yang pertama adalah pada saat menggambarkan penciptaan Adam.
Sedangkan yang kedua digunakan untuk menggambarkan situasi akhirat, dimana orang-orang yang memperoleh ridha Allah bakal ditempatkan di surga. Surga untuk pengertian yang kedua, yang dimaksud itu adalah sebuah taman indah di muka Bumi di fase akhirat. Pada saat itu, seluruh dimensi langit yang tujuh telah dibuka oleh Allah. Sehingga orang-orang yang tinggal di taman-taman indah di muka Bumi bisa merasakan kualitas keindahan berlipat kali, yang tidak bisa digambarkan dalam ukuran duniawi. Kualitasnya berlipatkali tiada berhingga. Itulah perumpamaan surga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagai balasan yang tiada berkeputusan. Sedangkan surga dalam pengertian yang pertama, adalah surga dimana Adam & Hawa ditempatkan. Ia adalah sebuah taman indah di muka Bumi yang ditempati oleh mereka, ketika masih berada di fase dunia. Kita bisa mengukurnya dengan ukuran-ukuran duniawi. Jadi, keduanya adalah sama-sama taman yang indah. Sama-sama di muka Bumi.
Tetapi perbedaanya adalah pada fasenya. Yang pertama adalah fase dunia. Sedangkan yang kedua adalah fase akhirat.QS. Al Baqarah (2): 35Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu taman (surga) ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Pemahaman selama ini, Adam diciptakan di surga, dan diperintahkan untuk mendiami surga itu sampai masa dewasanya. Akan tetapi, kalau anda mencoba mencari ayat yang secara eksplisit mengatakan bahwa Adam diciptakan di surga, anda akan kecewa. Sebab ternyata tidak ada satu ayat pun yang menceritakan hal itu. Bahwa Adam diciptakan di surga.Ayat-ayat yang bercerita tentang surga terkait dengan Adam, bukan terjadi saat penciptaan. Melainkan, selalu ketika Adam sudah tercipta. Atau bahkan sudah dewasa. Bersama istrinya. QS. Thaahaa (20): 117Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
Jadi, adalah terlalu spekulatif jika kita mengatakan bahwa Adam dan Hawa diciptakan Allah di surga. Apalagi jika kita memaknai surga itu sebagai sebuah negeri dewa-dewi di langit sana. Di luar angkasa yang jauh dari Bumi. Yang lebih jelas dan bisa dipertanggungjawabkan sumber informasinya adalah, bahwa Adam dan Hawa diciptakan di Bumi. Dan setelah terlahir ke dunia, mereka ditempatkan Allah di sebuah taman yang indah di Bumi pula. Jannah dalam arti yang sesungguhnya. Yaitu, taman indah yang subur dan makmur... QS. Al Mu'minuun (23): 79Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu sekalian di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan. Begitulah, Allah telah menciptakan manusia sejak awalnya memang di planet Bumi ini.
Kemudian mengembangbiakkannya juga di muka Bumi. Dan suatu ketika nanti, kita semua bakal kembali kepada ilahi Rabbi